Thursday, April 9, 2009

Solusi Job Creation di Tengah Krisis Global

Solusi Job Creation di Tengah Krisis Global
Oleh: DR.Ir.Ciputra

Bagaimana menciptakan lapangan kerja di saat roda ekonomi dunia melambat? Bisa jadi itulah pertanyaan besar bagi bangsa ini, sekarang. Meskipun jawabannya tidak serumit dan sebesar yang disangka orang. Mudah saja, “Melalui usaha kecil/menengah yang inovatif (innovative entrepreneur)!”
Memberdayakan mereka adalah strategi yang jitu. Lihat saja angka statistik, Indonesia baru punya entrepreneur itu, sekitar 400.000 orang. Atau 0,18% saja, dari jumlah penduduk. Padahal menurut David McClelland, rasio sebuah negara untuk mencapai kemakmuran, sedikitnya 2% entrepreneur dari populasi. Di buku Quantum Leap (Dr.Ir.Ciputra, Elex Media Komputindo, 2008) saya menggagas dan mendiskusikan lebih mendalam solusi mengatasi pengangguran dan kemiskinan dengan jurus entrepreneurship.

Solusi di USA
Peter F Drucker dalam bukunya "Innovation and Entrepreneurship" memaparkan bagaimana entrepreneur baru yang inovatif berhasil menciptakan lapangan kerja di AS pada kurun 1965-1985. Padahal situasi ekonomi AS tahun 1970 an sangat tidak menguntungkan. Drucker bahkan menyebutnya sebagai “the no-growth economy” dan “deindustrialization America”. Masalahnya menjadi makin berat ketika para analis tenaga kerja di Negeri Paman Sam itu memperkirakan tahun 1970 an akan terjadi lonjakan pasokan tenaga kerja, karena saat itu generasi baby boomers mencapai usia kerja.
Bukan hanya itu, pasokan tenaga kerja baru betul-betul booming, karena adanya perubahan sosial. Yakni banyaknya wanita usia kerja yang masuk ke bursa kerja karena tidak mau hanya jadi ibu rumah tangga. Bisa dibayangkan, betapa terjepitnya situasi ketenaga kerjaan saat itu? Karena penyedia lapangan kerja tradisional seperti perusahaan besar, pemerintah, lembaga pendidikan dan rumah sakit cenderung memperketat jumlah karyawannya. Tahun 1984, perusahaan Fortune 500 kehilangan pekerjaan antara 4 juta-5 juta pekerjaan. (“the old job creators have actually lost jobs” – Peter Drucker).
Apa yang dianggap “mimpi buruk” itu tidak terjadi. Peter Drucker menyatakan, perioda 1965-1985 itu menjadi masa emas penciptaan lapangan kerja di AS. Sebaliknya, Eropa Barat tahun 1970–1984 mengalami lost jobs, 3 sampai 4 juta. Sedangkan di Jepang tahun 1970-1982 lapangan pekerjaan hanya tumbuh 10%, atau kurang dari separuhnya AS. Drucker menyatakan “In no other peacetime priod has the United States created as many new jobs, whether measured in percentage or in absolue number–p1). Ia menyimpulkan bahwa tumbuhnya perusahaan skala kecil/menengah terbukti menjadi “penyelamat” penyediaan lapangan kerja di sana.
Dalam buku di atas Drucker juga menulis kurun 1965-1985 bisnis skala kecil dan menengah menciptakan lapangan kerja baru 40 juta. Sejumlah besar lapangan kerja itu diciptakan oleh bisnis baru yang belum pernah ada pada 20 tahun yang lalu. Ini menunjukkan dengan gamblang bahwa penciptaan entrepreneur baru yang inovatif adalah jalan keluar yang telah terbukti keampuhannya. Bahkan, mampu melawan arus turunnya ekonomi dan menyempitnya lapangan kerja di sektor tradisional. Keyakinan kami tentang solusi entrepreneurship untuk penciptaan lapangan kerja itu semakin menguat.
Konsepsi saya, adalah penciptaan SDM yang mampu “mengubah kotoran dan rongsokan menjadi emas”. Memang AS adalah lahan yang subur untuk para innovative entrepreneur, para perintis dan pelopor. Mereka datang dari berbagai belahan dunia dengan kelompok “entrepreneurial” yang telah membangun bangsa tersebut sehingga porsi AS dalam World Economy dari hanya 0,20% di tahun 1700 bisa meningkat tajam menjadi 25,8% di tahun 2007 (data dari Credit Suisse)

Pengangguran Terdidik
Sebuah fakta menyedihkan, pasar kerja Indonesia sudah 1,1 juta lulusan perguruan tinggi yang menganggur tahun 2008. Tahun 2004, hanya 500 ribuan. Itu artinya dalam 4 tahun sudah meningkat 100%. Ini menunjukkan bahwa mendorong atau memberikan stimulus yang hanya fokus pada penyedia lapangan kerja tradisional (PMA dan PMDN) tidaklah cukup. Kita harus memberdayakan generasi muda yang terdidik ini untuk mampu menciptakan lapangan kerja bagi diri mereka sendiri dan memanfaatkan kekayaan alam dan budaya Indonesia untuk kesejahteraan mereka .
Bagaimana dengan pemberdayaan wirausaha selama ini? Program penciptaan lapangan kerja melalui penciptaan entrepreneur baru terdapat di banyak Departemen Pemerintah maupun di masyarakat namun kami melihat setidaknya terdapat 5 kelemahan:
1. Orientasi solusi lebih banyak kepada dukungan modal dan bukan pemberdayaan untuk membentuk pola pikir, semangat dan kecakapan entrepreneurship. Bekal utama mereka bukan modal, tapi kapasitas SDM. Paling tidak, itu adalah pengalaman pribadi saya. Pelatihan dan pendidikan untuk membangun SDM entrepreneurial adalah sangat strategis dan berdampak luas sekali. Seandainya entrepreneurial innovation itu dapat kita latihkan kepada kepada 1 juta pengusaha sangat kecil yang hanya memiliki 1 karyawan sehingga mereka bisa menambah jumlah karyawan menjadi 2 orang maka akan tercipta 1 juta tambahan lapangan kerja baru.
2. Pelatihan entepreneurship kerap “dikecilkan” dengan pelatihan 3-5 hari saja lalu setelah itu didorong untuk terjun ke pasar yang “kejam”. Padahal, untuk jadi bidan dan montir saja harus berbulan-bulan pelatihannya. Sesederhana itu sajakah menjadi entrepreneur?
3. Pelatihan entrepreneurship terlalu dikaitkan pada bagaimana membuat sesuatu dan bukan bagaimana memasarkan sesuatu. Kenyataan dunia bisnis kecakapan menjual lebih penting dari kecakapan membuat.
4. Sangat langka pelatih/pendidik entrepreneurship yang mampu memberikan pelatihan atau pendidikan yang dapat membangun sosok entrepreneur dan bukan sekedar mengajarkan tentang entrepreneurship (to be entrepreneur dan bukan sekedar to know atau to do entrepreneurship). Pelatihan kurang menyentuh kaidah utama dan praktik nyata business creation dan business growth, seperti yang dilakukan praktisi entrepreneurship yang sukses. Pelatihan tampaknya memiliki fokus terlalu banyak pada fungsi bisnis (pemasaran, keuangan, produksi dsb) seperti yang dilakukan “pegawai para entrepreneur.” Belum memberikan perhatian pada faktor penciptaan peluang/opportunity creating. Padahal mampu menangani peluang adalah ciri utama innovative entrepreneur dan kunci pertama untuk menembus pasar.
5. Belum terdapat budaya yang cukup kuat di sebagian besar masyarakat yang mendukung kewirausahaan kaum muda. Budaya yang ada adalah sekolah untuk menjadi pencari kerja dan bukan pencipta kerja. Budaya ini cocok dengan untuk pendidikan abad 20 namun tidak cocok untuk pendidikan bagi manusia abad 21.

5 Usulan
Satu usulan kepada pemerintah, agar membentuk Badan Koordinasi Pengembangan Budaya Nasional Kewirausahaan Nasional (BKPBNKN). Tugas utamanya, kampanye kreatif budaya wirausaha kepada usia sekolah agar terjadi peningkatan citra dan minat untuk berwirausaha. Kami telah melakukan kunjungan ke berbagai Menteri dan pejabat terkait. Dan mereka merespon dengan baik.
1. Menghimpun potensi masyarakat dalam GABS.
Sebuah Komite Nasional Pengembangan Kewirausahaan (KNPK) dengan anggota unsur GABS (Government, Academician, Business & Social Figures) yang peduli dan memiliki wawasan entrepreneurship. Tugas KNPK memberi saran dan usulan kepada pemerintah dalam pengembangan dan percepatan penciptaan entrepreneur inovatif di Indonesia. Menjembatani sinergi antara pemerintah dengan unsur-unsur masyarakat untuk pengembangan entrepreneurship. Ikut mempromosikan budaya entrepreneurship di masyarakat luas.
Salah satu tugas GABS yang sangat penting adalah mengformulasikan kebijakan pelatihan entrepreneurship yang efektif dan kebijakan tentang prioritas pelatihan entrepreneurship. Gagasan ini kami perbincangkan dengan banyak pihak dan pada umumnya mendapatkan sambutan yang baik.

2. Integrasi pendidikan Entrepreneurship ke dalam kurikulum Pendidikan Nasional.
Entrepreneurship yang menjadi kebijakan pendidikan sudah menjadi kesepakatan negara-negara Uni Eropa. Di AS sudah lama. Ini menunjukkan bahwa urgensinya tinggi. Adalah sangat bijaksana bila Pemerintah Indonesia menjadi pelopor kebijakan ini untuk negara-negara berkembang. Kebijakan pendidikan yang pro pembentukan innovative entrepreneur antara lain: pelatihan dan pendidikan untuk para edukator dan pelatih entrepreneurship, meningkatkan pendidikan kreativitas untuk anak-anak usia dini, entrepreneurship sebagai program nasional yang memperkaya kurikulum nasional di tiap jenjang pendidikan, mengembangkan entrepreneurship center di kampus-kampus, menciptakan pendidikan S1 dan S2 jurusan Entrepreneurship, menyelenggarakan jambore nasional entrepreneurship untuk pelajar dan mahasiswa dsb. Kami berpendapat bahwa pelatihan bagi para pelatih/pendidik entrepreneurship patut menjadi prioritas, ini adalah akar bagi pengembangan yang lebih dalam dan lebih luas. Saat ini kami melihat bagaimana Departemen Pendidikan telah memulai berbagai upaya untuk melaksanakan program ini di lembaga pendidikan.

3. Mengembangkan kebijakan dan program nasional yang mendukung penciptaan UKM inovatif yang baru dan pertumbuhan UKM yang ada menjadi UKM inovatif.

• Stimulus untuk Penciptaan usaha baru oleh generasi muda.
Pemerintah dapat mempertimbangkan stimulus kemudahan dan pemotongan biaya pengurusan izin untuk usaha –usaha baru yang didirikan oleh lulusan perguruan tinggi yang baru lulus.
• Stimulus untuk usaha-usaha yang Inovatif dan potensi global
Mempersiapkan berbagai stimulus untuk mendorong usaha-usaha inovatif Indonesia untuk menjadi pemain-pemain global.
• Memotivasi Entrepreneur Sukses membantu UK/UKM/Pemula.
Pemerintah mendorong entrepreneur sukses untuk membantu yang pemula atau sebuah kluster entrepreneur kecil dengan cara menyediakan bantuan konsultasi, pelatihan dan jejaring. Apabila kemudian terjadi kebutuhan dana maka mentor melakukan bimbingan untuk mendapatkan akses dana dari lembaga-lembaga keuangan. Dengan cara ini hubungan yang terjadi adalah hubungan “guru” dengan “murid” dan bukan “donor” dengan “korban”. Pemerintah dapat memberikan penghargaan nasional setiap tahun kepada entrepreneur sukses yang paling banyak atau paling berhasil memberdayakan entrepreneur pemula.

4. 1% Budget Nasional untuk pengembangan Entrepreneurship
Dibutuhkan biaya yang besar untuk menemukan, melatih dan mempersiapkan sejumlah besar innovative entrepreneur setiap tahunnya. Sedikitnya 1% dari budget nasional perlu dialokasikan secara bertahap. Namun bila dalam 25 tahun ke depan pendapatan kita bisa naik 10X dengan patokan nilai sama seperti sekarang maka investasi 1% itu menjadi kecil nilainya. Saat ini terdapat sumber pendanaan dan berbagai dukungan lain untuk memerangi kemiskinan dan pengangguran dari lembaga-lembaga dunia seperti ILO dan World Bank. Alangkah baiknya bila dukungan tersebut disalurkan pada pengembangan kewirausahaan
.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.

0 comments:

Voltar Avançar Inicio
 

Topo